Dalam Mataku

Cahaya ufuk timur telah datang, sejuknya membawa hangat, mengusir gigil dari selimut gulita dan seketika tandang.

Patutlah segurat sinar mengembang, selepas berbunga dan berbuah di saat yang tepat, menuai bibit puja hati penuh riang.

Subuh ini embun akan sangat jernih dalam seumur hidupmu yang hanya sebentar. Berbahagialah.

8 Rajab 1442

RUMAH

*cahaya 27

Jika hatimu adalah rumah, maka hatiku pun sama.

Dengan sangat senonoh cahaya menyusup dari celah-celah pintu, jendela, genting dan segala hal yang mampu ia tembus hingga menerangi seluruh isi rumahku. Dan aku menyadari satu hal, bahwa di dalam rumah aku seorang diri.

Tandanglah langkah ke rumahmu.

Aku ingat pesan ibuku untuk mengucap salam dengan anggunnya kepekaan. Apa yang aku bawa membuatmu tersenyum dan menyilakanku untuk masuk ke rumahmu. Aku dengan senonoh pula memohon izin untuk tinggal di rumahmu. Aku ingin menyimpan cahaya di rumahmu. Agar rumahmu bercahaya. Agar rumah kita bercahaya. Agar kita bisa melihat satu sama lain, dan menyadari bahwa kita tidak seorang diri—lagi.

23 Jumadil Awal 1442

Dzulhijjah

Jika ibarahim diminta oleh Allah untuk menyembelih anak tercintanya, dengan satu alasan yang jelas Ibarahim harus patuh sebab ia adalah abdi-Nya. Ternyata selepas ditunaikan Ismail tetap hidup. Dengan mujizat yang Allah turunkan digantikannya dengan seekor domba. Begitulah kiranya sebuah pengorbanan harus rida Ibrahim laksanakan tulus demi yang ia cinta, ialah Dia yang Maha Cinta.

Maka, sepertinya sama halnya denganku kali ini. Dalam situasi dan kondisi yang serba mendesak aku harus benar-benar menyembelih hasrat pribadiku sementara waktu. Sebagai contoh membeli dan membaca buku baru yang sudah sangat aku ingin jadikan kebiasaan. Sebagai bentuk upaya penggalian inspirasi untuk berkarya. Tapi lihat, ternyata ketika aku benar menyembelihnya, Allah menggantikan itu semua dengan dirimu yang begitu anggun di sisiku. Tiada bandingnya. Sebab kau yang akan jadi inspirasi setiap karyaku. Begitulah kiranya sebuah pengorbanan harus rida aku tunaikan sungguh demi yang aku cinta, ialah kamu ciptaan yang Maha Cinta.

19 Jumadil Awal 1442

Kita Bukan Piaraan

Terbanglah sebebas-bebasnya
kepakkan sayap indahmu kemana
angin yang kamu ingin pun suka

Tak ada yang menahanmu untuk
tetap tinggal dan semayam dalam dekap
Semua ada pada kaki dan sayap
itu semua kamu punya kehendak

Aku dan kamu adalah dua yang sama
selebihnya diri yang hendak bagaimana
Apakah saling tatap dan menetap
atau malah sekadar singgah sekejap

Aku punya sayap dan kamu pun sama
Terbangku untuk pulang di ribaanmu
Bagaimana terbangmu?

Mojokerto, 12 Jumadil Awal 1442

Gumam Penjaga Penitipan Barang

Kadang duduk membisu
menghadap arah yang tak menentu
Kadang bermain kotak ajaib
mengamati siapapun punya nasib

Jika datang titipan maka senyum indah
menjuntai dari bibir muka yang cerah
Jika hanya lalu lalang yang berseliweran
membunuh waktu jadi sarana kesabaran

Barang titipan disimpan rapi di lemari
Dijaga dengan sepenuh hati
tanpa sedikitpun merasa iri

Kadang ada yang berlama-lama
Kadang pula sekedar numpang dahaga
Yang lama tak sekedar dijaga
juga dirawat bentuk tata krama
Yang sebentar biar rida jadi rongga
sebab itu kuasa Prima

5 Jumadil Awal 1442

Hujan

*teruntuk FLI

Rintik baru datang
namun rindu sudah menggenang
Sejak laju roda kereta
Sejak senyummu melambai
dari balik kaca

Hujan mendera
sedang rindu di dada kian membara
Kini aku disini menikmatinya
Kini kau disana tiada jemu melantun doa
tentang harapan kita

29 Rabi’ul Akhir 1442

Bawa Aku Pergi

Sungguh malang aku telah terhadang
Hati meradang bibir mengerang
Tahan sakit sejuta sakit

Bukan kematian ada di hadapan
Hanya buram mendalam
Hampiri diri menyayat hati
Jiwa tersesat tak dapat pijakan
Kurus tak terurus
Mengulum umpat

Kalau saja aku tak tahan
Aku putus aliran kehidupan
Biar lepas segenap angin

Apakah ada jalan lain?
Kau jawab; bawa aku pergi
Aku ketenanganmu, lanjutmu.

29/03/2016

Setelah mengorek-ngorek sebuah harddisk yang hampir tak terselamatkan karena telah lama tak terjamah, akhirnya aku bisa menyelamatkan banyak sekali kenangan-kenangan di masa lampau. Salah satunya karya yang entah apakah ikut usang atau malah jadi bahan bakar untuk berkarya lebih giat lagi.

Puisi adalah hal yang sangat aku senangi. Sebuah kemenangan dalam perlombaan membaca puisi yang membuatku makin jatuh hati pada puisi.

2013 aku mengikuti lomba membaca puisi di penghujung bangku SMA yang harus segera aku tanggalkan. Kemenangan telak tingkat kabupaten membuatku makin percaya diri untuk menulis puisiku sendiri. Pada waktu itu aku membacakan puisinya Gus Mus yang bertajuk Kau Ini Bagaimana. Suaraku yang sudah biasa lantang, cukup membuat tunduk pandangan para juri tak berani menatap mataku lebih lama.

Sejak itu aku mempersunting puisi. Meski hanya berhenti pada tanganku sendiri dan belum sampai di tangan para pembaca yang sangat suka berkomentar. Sedikit demi sedikit kukuak dalam blog.

Lalu apa rencana selanjutnya?